Sabtu, 18 September 2010

MENANTI ARAH PEMBANGUNAN KESEHATAN SULAWESI UTARA 5 TAHUN KEDEPAN

Selasa 3 Agustus 2010 yang lalu beberapa daerah di Sulawesi Utara secara serentak melaksanakan pesta demokrasi atau Pemilukada. Seluruh tahapan proses mulai dari pencalonan sampai kampanye telah dilalui, seluruh “aji mumpung” para kandidat telah disampaikan ke khalayak ramai, sambil berharap khalayak ramai akan tertarik hingga akhirnya memilih “aji mumpung” tersebut.


Isu kesehatan merupakan salah satu dari sekian “aji mumpung” yang ditawarkan para kandidat peserta pemilukada. Beragam wacana mulai dari peningkatan anggaran untuk pos kesehatan, pengobatan/pelayanan kesehatan gratis, maupun pemerataan distribusi tenaga kesehatan, menjadi primadona isu kesehatan yang ditawarkan. Namun dari beberapa isu diatas, tampaknya pengobatan/pelayanan kesehatan gratis merupakan primadona para kandidat untuk menarik simpati khalayak ramai.


Pemilih cerdas, menjadi slogan yang selalu digembar-gemborkan setiap kali menjelang tahapan proses pemilukada, namun disayangkan tidak ada upaya berarti yang dilakukan untuk bagaimana membuat pemilih menjadi benar-benar cerdas. Yang perlu saya garis bawahi bahwa kecerdasan tidak merupakan bawaan yang di dapatkan sejak lahir, yang bila diistilahkan menjadi “kecerdasan kongenital”.

Melihat isu kesehatan hari ini yang belum mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat, maka tidak mengerankan jika dari waktu ke waktu isu kesehatan yang paling digandrungi masyarakat adalah pelayanan kesehatan gratis, sehingga tidak mengherankan juga kalau pelayanan kesehatan gratis merupakan primadona isu kesehatan yang ditawarkan para kandidat. Padahal pelayanan kesehatan, seberapa besarpun anggaran yang akan digelontorkan untuk itu, hanya mempengaruhi 10 % terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Disamping itu juga, pelayanan kesehatan gratis merupakan HAK yang wajib didapatkan masyarakat, sebagaimana termaktub dalam UU, sehingga dengan sendirinya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikannya kepada masyarakat.


Pelayanan kesehatan gratis bukan merupakan suatu kebijakan, tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai sebuah keharusan yang wajib diberikan pemerintah.


Idealnya arah pembangunan kesehatan dirahkan pada paradigma sehat, yang merupakan sebuah cara pandang atau pola pikir yang melihat pentingnya menjaga kesehatan dan mencegah penyakit bukan hanya mengobati penyakit atau memulihkan kesehatan. Dua hal pokok yang harus menjadi perhatian terkait hal tersebut yaitu bagaimana menciptakan lingkungan yang sehat dan membentuk perilaku masyarakat menjadi perilaku sehat ( sektor hulu), tentunya tanpa mengesampingkan aspek layanan kesehatan yang berkualitas (sektor hilir). Sehingga dengan adanya penanganan dari hulu ke hilir maka penanganan yang komperhensif dan menyeluruh dapat dilakukan. Jika di analogikan seperti sungai, dimana sampah yang tertumpuk di bagian muara sungai diakibatkan oleh karena ulah masyarakat yang membuang sampah sembarangan ke sungai. Jika fokus penanganan sampah hanya ditujukan bagaimana membersihkan sampah yang tertumpuk di muara sungai tanpa mencegah agar masyarakat tidak membuang sampah ke sungai, maka dari hari ke hari jumlah sampah yang tertumpuk di muara sungai akan semakin banyak, yang dengan sendirinya anggaran yang dibayarkan untuk mengangkat sampah juga akan semakin besar pula. Seperti itu juga dengan derajat kesehatan. Jika fokus kebijakan hanya di fokuskan bagaimana menyembuhkan orang sakit (layanan kesehatan yang berkualitas, misalnya dengan membangun RS atau pengobatan gratis) maka dari hari ke hari jumlah penderita baru akan semakin bertambah. Tapi jika arah kebijakan di fokuskan ke upaya bagaimana agar seseorang yang sehat tidak jatuh sakit, maka dari hari ke hari jumlah penderita baru akan semakin menurun, sehingga alokasi anggaran yang di gunakan untuk layanan kesehatan juga akan semakin berkurang tiap periodenya.


Bloom menjelaskan bahwa derajat kesehatan seseorang di pengaruhi 4 faktor, yaitu perilaku, lingkungan, layanan kesehatan, dan genetik. Dari keempat faktor tersebut perilaku dan lingkungan merupakan dua faktor utama yang berpengaruh secara signifikan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyrakat. Sekali lagi tentunya tanpa mengesampingkan aspek layanan kesehatan yang berkualitas.

Kasus yang paling segar yang ada dingatan saya terkait hal diatas adalah kasus yang menimpa bocah 3 tahun yang bernama Kenny Kawulusan, warga Molompar, Minahasa Utara yang masuk rumah sakit Prof R. D. Kandou pada bulan juli 2010 karena menderita penyakit Rabies. Penyakit mematikan yang disebabkan oleh virus Rabies dengan cara penularannya lewat gigitan anjing yang terifeksi virus tersebut. Hemat saya jika orang tua Kenny Kawulusan memiliki pengetahuan tentang bahaya penyakit tersebut, tentunya kejadian yang menimpa Kenny saat ini tidak sampai terjadi. Seharusnya pada saat kenny digigit Anjing yang terinfeksi virus tersebut, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari tahu siapa pemilik anjing tersebut dan meminta agar Anjing tersebut dirawat (diikat dan diberi makan), tujuannya adalah untuk mengetahui apabila anjing tersebut terinfeksi virus mematikan atau tidak. Apabila anjing tersebut terinfeksi virus rabies, maka dalam waktu kurang dari 2 minggu pasti anjing tersebut akan mati, atau apabila anjing yang menggigit tersebut tidak ditemukan atau dibunuh, maka sang bocah malang tersebut (Kenny) dapat segera dibawa ke pusat kesehatan terdekat untuk selanjutnya mendapatkan vaksin rabies, sehingga hal yang tidak diinginkan sebagian besar orang tua tersebut tidak terjadi pada bocah malang tersebut.


Hubungan kasus kenny dengan paradigma sehat yang saya maksudkan adalah pada gerakan pembangunan berwawasan kesehatan yang nantinya akan mendorong terbinanya perilaku sehat masyarakat. Perilaku sehat masyarakat akan terbentuk bilamana adanya edukasi kesehatan yang intens dan terpadu dari institusi terkait, dalam hal ini dinas kesehatan. Puskesmas sebagai ujung tombak institusi kesehatan harusnya bisa lebih intens dalam hal memberikan edukasi kesehatan tersebut, sehingga perilaku sehat masyarakat akan terbentuk. Realitas hari ini, sebagian besar puskesmas hanya fokus ke fungsi pengobatan dan posyandu, dengan mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya.

Semoga hasil pemilukada 3 agustus yang lalu dapat menghasilkan pemimpin yang mampu membawa arah kesehatan Masyarakat Sulawesi Utara ke arah yang terang benderang melalui sebuah gerakan pembangunan berwawasan sehat yang didasari pada paradigma sehat (pembangunan kesehatan perlu segera digeser ke arah upaya promotif-preventif yang seimbang dengan upaya kuratif-rehabilitatif). Semoga, Wassalam !

Tidak ada komentar: